Sejarah Budidaya dan Produksi Kopi di Batulayang

Batulayang merujuk kepada nama kabupaten yang pernah ada di sekitar Bandung Raya. Menurut berbagai sumber pustaka, di antaranya empat jilid buku Priangan karya F. De Haan (1910-1912), Ceritera Dipati Ukur: Karya Sastra Sejarah Sunda (1982) oleh Edi S. Ekadjati, dan Ensiklopedi Sunda (2000) yang disunting Ajip Rosidi, Batulayang sebagai kabupaten muncul sekitar abad ke-18 dan dibubarkan pada tahun 1802.

Kabupaten ini terdiri atas tiga distrik yaitu Kopo, Rongga, dan Cisondari (meliputi Cililin, Ciwidey, dan Gunung Halu). Namun, data lain menunjukkan bahwa  Cihea juga termasuk Batulayang. Wilayahnya dibatasi oleh Kabupaten Bandung di sebelah utara; Gunung Patuha, Gunung Tilu, dan Cidamar di sebelah selatan; Sungai Cisangkuy dan Gunung Tanjaknangsi di sebelah timur; serta Sungai Cisokan dan Kabupaten Cianjur di sebelah barat. Ibu kotanya disebut Gajah atau Gajah Palembang, di pinggir selatan Sungai Citarum (sebelah barat Margahayu).

Konon, mulanya, Batulayang didirikan oleh Prabu Sang Adipati Kertamanah, salah seorang putra dari pangeran Kerajaan Sunda. Ia tinggal di Papak Manggu. Setelah dia, berturut-turut yang memerintah adalah anaknya yang laki-laki serta keturunan selanjutnya, yakni Tumenggung Suradirana; Tumenggung Wira Anom; Rangga Abdulgalip; Yudanagara; Rangga Abdurahman, yang mendirikan ibu kota Gajah Palembang; Tumenggung Anggadikusuma; Tumenggung Adikusuria. Bupati selanjutnya adalah Tumenggung Adikusuma (1770-1786) atau Raden Rangga Dikusuma; Raden Bagus (1786-1794) yang diberi gelar Aria pada 30 Desember 1791; dan yang terakhir adalah Tumenggung Rangga Adikusuma (1794-1802).

Dalam sejarah, setelah Priangan dikuasai oleh Mataram, Batulayang termasuk Tatar Ukur. Ukur sendiri terdiri dari beberapa umbul atau distrik, antara lain Saunggatang, Taraju, Malangbong, Cihaur Mananggel, Medang Sasigar, Batulayang, Ukur, Kahuripan, dan Sagaraherang atau meliputi Priangan ditambah Purwakarta, Subang, dan Karawang.

Antara 1625-1629 yang menjadi bupati Tatar Ukur sekaligus orang kepercayaan Mataram (wedana Priangan) adalah Dipati Ukur. Ia menggantikan posisi bupati Sumedang Rangga Gempol (1620-1625). Namun, karena dianggap berkhianat saat penyerangan ke Batavia (1628-1629), Dipati Ukur terus diburu Mataram antara 1630-1632 sehingga kalah. Pihak yang kalah dihukum sangat bengis. Setelah orang-orang yang kalah itu dibawa ke Mataram, Dipati Ukur dipenggal lehernya, Demang Saunggatang dibungkus oleh ijuk dan kemudian dibakar. Tumenggung Batulayang digodog. Ngabehi Yudakerti dari Taraju digantung di pintu gerbang perbatasan kota, badannya dikerat oleh orang-orang yang lewat. Umbul Cihaur Mananggel, Medang Sasigar, Kuripan, dan Umbul Sagaraherang ditumbuk dalam lesung.

Selang beberapa tahun, Tatar Ukur dibagikan kepada umbul-umbul bawahan Ukur yang menolak untuk melakukan perlawanan terhadap Mataram bahkan bekerjasama untuk mengalahkan Dipati Ukur. Umbul-umbul tersebut adalah Umbul Sukakerta (dengan kepalanya Wirawangsa), Umbul Sindangkasih (Samahita), Umbul Cihaurbeuti (Astramanggala) dan Umbul Indihiang (Ewing Sarana).

Sesuai dengan piagam Sultan Agung pada 20 April 1641, Wirawangsa dengan gelar Wiradadaha mendapatkan Saunggatang, Taraju, dan Malangbong serta menjadi bupati pertama Kabupaten Sukapura. Samahita dengan gelar Tumenggung Tanubaya, mendapatkan daerah Cihaur Mananggel, Medang Sasigar, dan Batulayang dan menjadi bupati pertama Kabupaten Parakanmuncang. Dan Astramanggala dengan gelar Tumenggung Wira Angun-angun mendapatkan daerah Ukur, Kahuripan, dan Sagaraherang dan menjadi bupati pertama Kabupaten Bandung.

Alhasil, setelah lepas dari Tatar Ukur, Batulayang kemudian menjadi bagian dari Kabupaten Parakanmuncang. Namun, karena berada di sekitar Bandung, Batulayang tetap dikaitkan dengan Bandung, meski akhirnya sering menjadi bahan rebutan antara Parakanmuncang dan Bandung. Pada 31 Januari 1691, Rangga Gempol menyebutkan bahwa Tumenggung Batulayang adalah salah seorang pembesar di Bandung. Oleh karena itu, pada peta 1692, Batulayang tidak terpisah dengan Kabupaten Bandung. Demikian pula, pada 1 Mei 1702, bupati Bandung melaporkan bahwa dia mengambil belerang dari Gunung Patuha yang ada di wilayah Batulayang.


Namun, pada salinan naskah bertitimangsa Cirebon, Februari 1708, 50 keluarga yang berada di bawah Anggayuda (Batulayang), berada di bawah kekuasaan Tumenggung Tanoebaya. Kemudian pada 10 April 1708, Kumitir Pribumi Cnoll mengeluarkan keputusan bahwa Batulayang harus diserahkan kepada Tumenggung Tanoebaya dari Parakanmuncang.

Pada 12 Mei 1730 terjadi lagi perselisihan antara Ngabehi Batulayang dengan daerah lainnya, ihwal wilayah kekuasaannya. Pada 25 Agustus 1739 disebutkan bahwa di Batulayang ada 40 desa. Pada 28 Juni 1740, dari jumlah tersebut 22 desa termasuk sebagai distrik Bandung dan 18-19 desa lainnya termasuk Parakanmuncang.

Dalam perkembangan selanjutnya, Batulayang berada di bawah Bandung antara tahun 1747 hingga 1763. Pada 1 Februari 1763, Kumitir Pribumi Velde (1744-1750) memutuskan pertengkaran antara Bandung dan Parakanmuncang terkait Batulayang. Keputusannya, secara prinsip, Batulayang termasuk Bandung, meskipun Parakanmuncang juga masih punya hak pada beberapa desa di wilayah tersebut.

Kaitan antara Batulayang dengan Bandung memang sangat erat. Keluarga bupati kedua kabupaten tersebut terjalin melalui tali perkawinan, baik sebelum maupun sesudah Batulayang dibubarkan. Ini terlihat dari Bupati Batulayang Rangga Abdurahman yang menikahi Nyi Raden Banten, anak Bupati Bandung Tumenggung Anggadireja (1681-704). Bupati Batulayang Tumenggung Adikusumah (1770-86) menikah dengan Nyi Raden Nimbangmantri, anak Bupati Bandung Tumenggung Anggadireja (1747-63). Bupati Bandung Wiranatakusumah (1794-829) menikahi Nyi Raden Kendran, anak Bupati Batulayang Tumenggung Adikusumah dari Nyi R. Nimbangmantri. Patih Bandung Anggadikusumah anak Bupati Batulayang Tumenggung Rangga Adikusumah (1794-802) menikahi Nyi Raden Galuh, anak Bupati Bandung Wiranatakusumah (1794-1829) dari Nyi Raden Kendran.

Bagaimana dengan sejarah budidaya dan produksi kopi dari Batulayang? Bila melihat sejarah awal penanaman kopi pada 1706-1707, besar kemungkinan upaya penanaman kopi di Batulayang disatukan dengan Parakanmuncang dan Bandung. Tentu saja, hasil produksi kopi dari Batulayang pada periode 1711 hingga 1760-an masih disatukan dengan Parakanmuncang dan Bandung. Batulayang baru disebutkan secara terpisah dalam daftar perkebunan kopi pada 15 April 1766.

Peta pada 1790 oleh Midderhof yang menggambarkan daerah yang terletak di sekitar Kembang Kuning, Sungai Cikao, Sungai Citarum dan Sungai Cilalawi. Di sekitar Cikao (Purwakarta sekarang) didirikan gudang penyimpanan kopi dari Bandung dan Batulayang

Kemudian dalam statistik De Klerk pada 4 Desember 1777, Batulayang juga dipisahkan dari Bandung. Menurut laporan De Klerk, Batulayang menghasilkan 800 pikul kopi. Pada saat ini pula terjadi pengurangan komisi bagi para bupati penghasil kopi. Di situ disebutkan untuk per pikulnya, bupati Pamanukan, Bandung, Sumedang, Batulayang dan Adiarsa mendapatkan komisi 2 dollar spanyol, sementara Ciasem, Parakanmuncang, Karawang, Cianjur, Bogor mendapatkan 1 dollar spanyol.

Pada 31 Desember 1778 dan laporan 30 Desember 1785, Batulayang masih disebutkan sebagai kabupaten mandiri. Sebelumnya, pada 20 September 1785, Kumitir Pribumi Rolff melaporkan perkiraan pohon kopi sebanyak 9 juta batang, yang di antaranya, terdiri dari 2 juta batang di Cianjur; 1 juta di Bogor; 600.000 di Parakanmuncang; 500.000 di Bandung dan Karawang; 400.000 di Tangerang dan Grendeng; 300.000 di Sumedang; 200.000 di Batulayang, dan lain-lain.

Empat tahun kemudian, pada 4 Agustus 1789 Rolff menyatakan bahwa hasil kopi yang berasal dari Batulayang, Bandung, Sumedang, Parakanmuncang, dan Wanayasa harus dibawa melalui gunung-gunung ke kapal-kapal yang ada di Cikao (di sekitar pertemuan Sungai Cikao dan Sungai Citarum yang sekarang termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Purwakarta), Gintung, Adiarsa dan Krawang atau Babakan. Menurut perkiraan Engelhard, dari Bandung ke Cikao ditempuh dengan perjalanan selama 15, 30 dan 50 hari; dari Batulayang selama 18, 20, 30 hari; dari Parakanmuncang ke Gintung selama 35, 36, 55, 56 dan 60 hari.

Selama fase 1786-1794, pemerintahan di Batulayang berada di bawah perwakilan bupati Bandung, karena anak bupati Batulayang Tumenggung Adikusumah (1770-86), Raden Bagus, masih kecil. Baru pada 1794, Raden Bagus memegang kendali pemerintahan di Batulayang. Sebagai bupati Batulayang ia disebut Tumenggung Rangga Adikusumah. Pada masa bupati inilah, bersama dengan bupati Bandung pada 1796,   menyewa rumah-rumah dan Distrik Cikao, sebagai tempat penyimpanan kopi yang dihasilkan di daerahnya masing-masing.

Hasil produksi kopi selama tahun 1797-1798 mendapatkan surplus lebih dari 3 juta gulden. Namun, sebaliknya, budidaya kopi di Cianjur, Parakanmuncang, dan Batulayang malah mengalami kemunduran. Ini disebabkan oleh terlalu berlebihannya penanaman pohon kopi, sehingga sukar sekali untuk merawatnya. Dengan demikian, selama tahun 1798, setelah pemotongan berbagai pengeluaran produksi kopi, para bupati: Cianjur dan Bogor mendapatkan sebanyak 39.307 dollar spanyol; Bandung 21.844; Parakanmuncang 12.875; Sumedang 8.363; Karawang 3.584; Batulayang 2.624; Tangerang 1.901; Pamanukan 529; Adiarsa banyak kehilangan pendapatan, karena produksi kopinya sangat sedikit.

Pada 11 Mei 1790 disebutkan lima kali dalam setahun ke Cikao tiba 2000 kerbau yang menarik pedati berisi kopi. Di antara kiriman tersebut dari Bandung dan Batulayang mengirim 500 pedati yang ditarik 1000 kerbau. Namun, nampaknya produksi kopi dari Batulayang terus menurun, sehingga pada 12 Maret 1799, Kumitir Pribumi Nicolaus Engelhard mengancam Batulayang akan dimasukkan lagi ke Bandung bila tidak menyetorkan lagi produk budidaya kepada kompeni.

Padahal pada tahun 1799 harga kopi terus menunjukkan kenaikan, tetapi dari Batulayang sebagaimana catatan bulan Desember 1799, untuk transportasi kopi hanya menyediakan 468 kerbau, 150 sapi, 37 kuda. Penurunan produksi tersebut diperkuat dalam laporan pada 24 Desember 1801. Di situ disebutkan Batulayang termasuk kabupaten yang terlalu kecil dan miskin untuk membayar hutang-hutang bupatinya kepada kompeni. Kemiskinan Batulayang, dalam laporan tersebut, dijadikan alasan untuk menggabungkannya dengan Kabupaten Bandung. Karena disebut-sebut tidak ada sawah yang dapat digunakan untuk menanam padi bagi makanan penduduknya, sehingga dengan penyatuan dengan Bandung, penduduk Batulayang yang kelaparan dapat dipasok dari cutak lain di wilayah Bandung. Pada tanggal tersebut juga diketahui bahwa 22.000 pikul kopi disetorkan dari daerah Bandung, yang 18.000 di antaranya berasal dari Kabupaten Bandung dan 4000 lainnya dari Batulayang. Meski demikian, untuk produksi kopi, hasil dari Batulayang masih memberi harapan.

Di balik penyatuan Batulayang ke Kabupaten Bandung, ada kenyataan menarik. Karena disebut-sebut salah satu alasan lainnya yang memperberat Batulayang adalah kebiasaan jelek bupatinya, Tumenggung Rangga Adikusuma (1794-1802). Pada laporan 24 Desember 1801, Kumitir Pribumi melaporkan bahwa bupati Batulayang kecanduan minuman keras dan opium (yang sebenarnya pernah dilaporkan pada 28 Agustus 1797) dan mengasingkannya ke kampung yang ada di Batavia. Keputusan tersebut tidak dilaksanakan, karena kompeni akan melihat dulu setoran kopi dan akibat peringatan pada 24 Desember 1801. Namun, pada akhirnya, tanggal 16 April 1802, Tumenggung Rangga Adikusuma dipecat dan dibuang ke Kampung Mangga Dua di Batavia, dan kabupatennya disatukan dengan Bandung.

Dari daftar inventarisasi yang dilakukan pada 1802, diketahui bahwa bupati yang dipecat tersebut tidak memiliki kekayaan permata atau yang terbuat dari emas kecuali 6 baju berkancing emas; sebuah keris yang dihias dengan emas; serta perkakas dari perak berupa sebuah sendok makan besar, setengah lusin sendok, garpu, pisau dan tempat sirih. Selain itu, bupati yang meninggal dan dimakamkan di Mangga Dua tersebut mempunyai 150 kuda betina, seeokor kuda jantan Persia dan 27 kuda jantan lainnya.

Sementara produksi kopi di masa akhir jabatan Tumenggung Rangga Adikusuma, Kabupaten Batulayang hanya menghasilkan 1489 pikul. Ini sesuai dengan laporan bulan Oktober 1802 dan laporan yang disusun oleh Kumitir Pribumi Pieter Engelhard pada tahun itu.

===============
Sumber : AyoBandung.Com, penyunting tulisan Atep Kurnia - Peminat budaya dan literasi Sunda.

Tidak ada komentar