Ternyata Makam Bupati Bandung Ke-1 Tmg. Wira Angun-angun adalah Makam Kosong Tanpa Jasad

Tmg. Wiraangun-angun (Ki Astamanggala) Bupati Bandung I, 1641-1670, adalah mertuanya Dalem Demang Anggaredja (Dalem Gordah) / Tmg. Anggadireja I, Bupati Bandung ke III (1704-1747), Nyi Rd. Karawitan. (baca disini)

Tak dikira, ternyata, makam Bupati atau Dalem Bandung pertama, Tmg. Wira Angun-angun di Kampung Kaum Dayeuhkolot Kabupaten Bandung, sebenarnya hanya kosong tanpa jasad. Di dalam makam hanya berisi tanah yang diambil dari makam asli sang Bupati. 

"Yang dimakamkam di dalamnya hanya sebagian tanah yang diambil dari makam aslinya di Desa Pasirmalang Baleendah," kata juru kunci kompleks makam para Dalem Bandung, Pa Jujun Junaedi.  Pak Jujun Junaedi mengaku tidak tahu di mana jasad asli dari Bupati Bandung pertama itu berada. 


Namun menurut cerita leluhurnya, jasad bupati pertama Bandung yang memerintah pada tahun 1640-1681 itu katanya berada di Desa Pasirmalang, Baleendah.   

"Yang benar-benar dimakamkan di sini adalah Bupati Bandung ke-4 dan Bupati Bandung ke-5 yang keduanya bergelar Anggadireja," ujar Pak Jujun Junaedi.

Pak Jujun menuturkan, meski tidak terdapat jasad asli sang bupati. Namun, hal itu tidak mempengaruhi minat para peziarah dan wisawan untuk datang ke pemakaman itu.

Kompleks makam ini terletak agak tersembunyi di tengah kampung. Di ujung gang sudah tampak sebuah gapura putih dengan pintu besi yang masih terkunci. Kompleks makam seluas satu hektare ini dibentengi oleh tembok yang juga berwarna putih. Tanah ini adalah tanah wakaf dari keluarga Dewi Sartika.

Pada tembok depan terpasang sebuah prasasti marmer bertuliskan nama-nama tokoh yang dimakamkan di situ :

  • Ratu Wiranatakusumah (Raja Timbanganten ke-7)
  • Tmg. Wira Angun-Angun (Bupati Bandung ke-1)
  • Tmg. Anggadiredja II (Bupati Bandung ke-4)
  • Rd. Adipati Wiranatakusumah I (Bupati Bandung ke-5)
  • Rd. Dmg. Sastranegara (Patih Bandung)
  • Rd. Rg. Somanegara (Patih Bandung)
  • Rd. Dmg. Suriadipradja (Hoofd Jaksa Bandung)

Selain nama-nama yang tercantum di atas, masih banyak nama tokoh lain yang dimakamkan di sini yang mungkin menarik untuk ditelusuri karena sedikit-banyak mungkin menyimpan cerita tentang sejarah Bandung.

Di tengah kompleks terdapat empat buah makam bercungkup yang seluruhnya adalah makam pindahan. Masing-masing adalah makam R. Tmg. Wira Angun-Angun, Bupati Bandung pertama (1641-1681), yang dipindahkan dari Pasirmalang, Bale Endah, pada tahun 1984; Ratu Wiranatakusumah yang dipindahkan dari tempat asalnya di Cangkuang, Leles, pada tahun 1989; Makam R. Rg. Somanegara yang dipindahkan dari tempat pembuangannya di Ternate; dan R. Dmg. Suriadipradja yang dipindahkan dari tempat pembuangannya di Pontianak. R. Dmg. Suriadipradja adalah ayahanda Dewi Sartika. Dua tokoh terakhir ini dipindahkan pada tahun 1993. Seluruh pemindahan dilakukan oleh Yayasan Komisi Sejarah Timbanganten-Bandung.


Ulasan Sejarah Pada Masa Tmg. Wiraangun-angun
Berdirinya Kerajaan Timbanganten merupakan kelanjutan dari Kerajaan Mandala Dipuntang (Panembong Bayongbong), dimana rajanya Prabu Derma Kingkin sebagai Nalendra terakhir Kerajaan Mandala di Puntang, lalu ia memindahkan pusat kerajaan dari Panembong ke daerah Timbanganten (daerah yang sekarang disebut Tarogong).

Timbanganten merupakan daerah sekitar Gunung Guntur, lantas Derma Kingkin mengganti nama kerajaan Mandala di Puntang menjadi Kerajaan Timbanganten. Sunan Derma Kingkin memiliki lima orang putra, yaitu : 

Sunan Kaca  dikenal dengan nama Baginda Salemba,  Nalendra Sunan Ranggalawe,  Dalem Cicabe di Suci Garut,  Dalem Cibeureumdi korobokan Limbangan, Dalem Kandang Serang di Cilolohan, dan Dalem Kowang di Pagaden Subang.

Timbanganten merupakan bagian dari sejarah Jawa Barat, dan termasuk wilayah dari Tatar Ukur. Tatar Ukur, menurut naskah Sadjarah Bandung, adalah daerah Kerajaan Timbanganten dengan ibukota di Tegal luar. Kerajaan itu berada di bawah dominasi Kerajaan Sunda-Pajajaran.

Sejak pertengahan Abad ke-15, Kerajaan Timbanganten diperintah secara turun-temurun oleh Prabu Pandaan Ukur, Dipati Agung, dan Dipati Ukur. Pada masa pemerintahan Dipati Ukur, Tatar Ukur merupakan suatu wilayah yang cukup luas, mencakup sebagian besar Wilayah Jawa Barat, terdiri dari sembilan daerah yang disebut “Ukur Sasanga”.

Setelah Kerajaan Sunda-Pajajaran runtuh (8 Mei 1579 M) akibat serangan Pasukan Banten dalam usaha menyearkan Agama Islam di daerah Jawa Barat, Tatar Ukur menjadi wilayah kekuasaan kerajaan Sumedanglarang, penerus Kerajaan Pajajaran. Kerajaan Sumedanglarang didirikan dan diperintah pertama kali oleh Prabu Geusan Ulun (1580-1608), dengan ibukota di Kutamaya, suatu tempat yang terletak di sebelah Barat Kota Sumedang sekarang. Wilayah kekuasaan Kerajaan itu meliputi daerah yang kemudian disebut Priangan, kecuali Daerah Galuh (sekarang bernama Ciamis).

Ketika Sumedanglarang diperintah oleh Raden Aria Soeriadiwangsa, anak Prabu Geusan Ulun (Rd, Angka Wijaya) dari isteri ke 2 Ratu Harisbaya, Sumedang Larang menjadi daerah kekuasaan Mataram sejak Tahun 1620. Sejak itu status Sumedang Larang pun berubah dari Kerajaan menjadi Kabupaten dengan nama Kabupaten Sumedang. Mataram menjadikan Priangan sebagai daerah pertahanannya di bagian Barat terhadap kemungkinan serangan pasukan Banten dan Kompeni yang berkedudukan di Batavia, karena Mataram di bawah pemerintahan Sultan Agung (1613-1645) bermusuhan dengan Kompeni dan Konflik dengan Kesultanan Banten.

Untuk mengawasi Wilayah Priangan, Sultan Agung Raden Aria Soeriadiwangsa menjadi “Bupati Wedana” (Bupati kepala) di Priangan (1620-1624), dengan gelar Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata/Rangga Gempol I. Tahun 1621, Sultan Agung memerintahkan Rangga Gempol I untuk menaklukkan Daerah Sampang (Madura). Oleh karena itu, jabatan “Bupati Wedana” Priangan diwakilkan kepada kakak  Pangeran Soeriadiwangsa (Rangga Gempol I), yaitu Pangeran Adipati Rangga Gede. Tidak lama, setelah Pangeran Adipati Rangga Gede menjabat Bupati Wedana, Sumedang diserang oleh Pasukan Banten. Oleh karena, sebagian Pasukan Sumedang berangkat ke Sampang, Pangeran Dipati Rangga Gede tidak dapat mengatasi serangan tersebut. Akibatnya, ia menerima sanksi politis dari Sultan Agung. Pangeran Dipati Rangga Gede ditahan di Mataram.

Jabatan Bupati Wedana Priangan oleh Kesultanan Mataram diserahkan kepada Dipati Ukur, dengan syarat ia harus dapat merebut Batavia dari kekuasaan kompeni Belanda. Tahun 1628 Sultan Agung memerintahkan Dipati Ukur untuk membantu pasukan Mataram menyerang kompeni di Batavia. Akan tetapi serangan itu mengalami kegagalan. Dipati Ukur sangat menyadari bahwa sebagai resiko dari kegagalan tersebut, ia akan menerima sanksi berat dari raja Mataram, misalnya seperti hukuman yang dialami Pangeran Dipati Rangga Gede, atau hukuman yang lebih berat lagi. Oleh karenanya, Dipati Ukur beserta para pengikutnya membangkang terhadap Mataram. Setelah penyerangan terhadap kompeni gagal, mereka tidak datang ke Mataram melaporkan kegagalan tugasnya.

Jabatan Bupati Wedana Priangan diserahkan kepada Dipati Ukur, dengan syarat ia harus dapat merebut Batavia dari kekuasaan kompeni Belanda. Tahun 1628 Sultan Agung memerintahkan Dipati Ukur untuk membantu pasukan Mataram menyerang kompeni di Batavia. Akan tetapi serangan itu mengalami kegagalan. Dipati Ukur sangat menyadari bahwa sebagai resiko dari kegagalan tersebut, ia akan menerima sanksi berat dari raja Mataram, misalnya seperti hukuman yang dialami Pangeran Dipati Rangga Gede, atau hukuman yang lebih berat lagi. Oleh karenanya, Dipati Ukur beserta para pengikutnya membangkang terhadap Mataram. Setelah penyerangan terhadap kompeni gagal, mereka tidak datang ke Mataram melaporkan kegagalan tugasnya.

Tindakan Dipati Ukur dianggap Pihak Mataram sebagai tanda pemberontakan terhadap penguasa kerajaan Mataram. terjadinya pembangkangan Dipati Ukur beserta pengikutnya dimungkinkan, antara lain karena Pihak Mataram sulit untuk mengawasi daerah Priangan secara langsung, akibat jauhnya jarak antara pusat Kerajaan Mataram dengan Daerah Priangan. Secara teori, bila daerah koloni jauh dari pusat kekuasaan,  maka kekuasaan pusat di daerah itu sangat lemah. Namun demikian,  berkat bantuan beberapa kepala daerah di Priangan, pihak Mataram akhirnya dapat memadamkan “pemberontakan” Dipati Ukur.

Menurut Sejarah Sumedang (babad), Dipati Ukur tertangkap di Gunung Lumbung (Bandung) pada Tahun 1632. Setelah pemberontakan Dipati Ukur berakhir, jabatan Bupati Wedana diserahkan kembali oleh Sultan Agung kepada Pangeran Dipati Rangga Gede yang telah bebas dari hukumannya. Selanjutnya, Sultan Agung melaksanakan reorganisasi pemerintahannya di Priangan, dengan tujuan mempertahankan stabilitas dan keamanan daerah tersebut. 

Daerah Priangan di luar Sumedang dan Galuh dibagi menjadi 3 (tiga) kabupaten, yaitu Kabupaten Bandung, Kabupaten Parakan Muncang, dan Kabupaten Sukapura dengan mengangkat 3 (tiga) orang Kepala Daerah dari Priangan yang dianggap telah berjasa dalam memadamkan pemberontakan Dipati Ukur. Ketiganya, antara lain adalah :
1. Ki Asta Manggala, umbul Cihaurbeuti, diangkat sebagai “Mantri Agung” (Bupati) Bandung dengan gelar Tumenggung Wirangunangun.
2. Ki Tanubaya, diangkat sebagai Bupati Parakanmuncang.
3. Ngabehi Wirawangsa menjadi Bupati Sukapura dengan gelar Tumenggung Wiradadaha.

Ketiganya dilantik secara bersamaan berdasarkan “Piagem Sultan Agung” yang dikeluarkan Hari Sabtu Tanggal 9 Muharram Tahun Alip (Penanggalan Jawa). dengan demikian, Tanggal 9 Muharram Tahun Alip bukan hanya merupakan Hari jadi Kabupaten Bandung saja, namun sekaligus juga Hari jadi Kabupaten Sukapura dan Kabupaten Parakanmuncang.

Setelah ketiga Bupati  tersebut dilantik di Pusat pemerintahan Mataram, mereka kembali ke daerah masing-masing. Sadjarah Bandung (naskah) menyebutkan bahwa Bupati Bandung Tumenggung Wirangun-angun beserta pengikutnya dari Mataram kembali ke Tanah Ukur. Pertama kali mereka datang ke daerah Timbanganten. Di sana Bupati Bandung mendapatkan 200 cacah. Selanjutnya Tumenggung Wirangun-angun bersama rakyatnya membangun Krapyak, sebuah tempat yang terletak di tepi Sungai Citarum dekat muara Sungai Cikapundung (daerah pinggiran Bandung Selatan) sebagai ibukota Kabupaten. Sebagai daerah pusat Kabupaten Bandung, Krapyak dan daerah sekitarnya disebut “Bumi Ukur Gede”.

Wilayah Administratif Kabupaten Bandung di bawah pengaruh Mataram (hingga akhir Abad ke-17), belum diketahui secara pasti, karena sumber akurat yang memuat data tentang hal itu belum ditemukan. 

Menurut sumber pribumi, pada tahap awal Kabupaten Bandung meliputi beberapa daerah, antara lain: Tatar Ukur termasuk daerah Timbanganten, Kuripan, Sagaraherang, dan sebagaian Tanah Medang. Boleh jadi, Daerah Priangan di luar Kabupaten Sumedang, Parakanmuncang, Sukapura dan Galuh, yang semula merupakan Wilayah Tatar Ukur (Ukur Sasanga) pada masa pemerintahan Dipati Ukur, merupakan Wilayah Administratif Kabupaten Bandung waktu itu. Bila ini benar, maka Kabupaten Bandung dengan ibukota krapyak, wilayahnya mencakup Daerah Timbanganten, Gandasoli, Adiarsa, Cabangbungin, Banjaran, Cipeujeuh, Majalaya, Cisondari, Rongga, Kopo, Ujungberung, dan lain-lain (termasuk Kuripan, Sagaraherang, dan Tanah Medang).


Bupati Bandung Munggaran Angkatan Mataram R Tmg Wira Angun-Angun (1641-1681)
Kabupaten Bandung lahir melalui Piagam Sultan Agung Mataram, yaitu pada ping Songo tahun Alif bulan Muharam. Berdasarkan perhitungan dan penetapan Tim Peneliti Sejarah Kab Bandung Ping Songo Tahun Alif itu jatuh pada hari Sabtu tanggal 20 April 1641 Masehi.

Menurut Prof. Dr. Soekanto, diterbitkannya piagam tersebut bertepatan dengan 16 Juli 1633. Namun versi Dr.F.De Han menyebutkan titimangsa lahirnya surat keputusan pengangkatan Wira Angun-angun bertepatan dengan 20 April 1641.

Perbedaan pendapat ini sempat jadi kontroversi. Namun setelah ditelusuri jejak Sultan Agung Mataram yang berkuasa 1613-1645 M, keterangan tentang titimangsa piagam dalam perhitungan masehi mulai ada titik terang.

Rupanya pada piagam untuk Bupati Bandung itu, Sang Pangeran Mataram membubuhkan namanya dengan gelar Sultan. Gelar Sultan itu merupakan pemberian Raja Arab yang dibawa utusannya. Penyerahan gelar dengan nama Sultan Muhammad Matarani untuk Sultan Agung itu tercatat 30 Januari 1641. Sultan Agung sendiri sebelum tahun 1624 selalu menggunakan gelar Pangeran. Kemudian sejak 1625 biasa menggunakan gelar Sinihun atau Sunan.

Atas dasar catatan penyerahan gelar Raja Arab, yang kemudian disesuaikan dengan perhitungan Alamanak dan Pranatamangsa, ditetahui bahwa penerbitan piagam pengangkatan Bupati Bandung pertama bertepatan dengan Kala-Desta ( Hapit ). Bulan itu merupakan musim istirahat petani atau sama dengan 20 April 1641. Tercatat pula, pada musim itu adalah waktu diselenggarakannya perayaan kenegaraan.

Dari bukti itu, ditambah dengan bukti bahwa tidak pernah ada catatan atau bukti yang mengungkap di Bandung pernah ada penguasa selain Wira Angun-angun, maka hari Sabtu Ping Songo Bulan Muharam Tahun Alif sama dengan tanggal 20 April 1641.

Ditetapkanlah tanggal 20 April sebagai Hari Jadi Kabupaten Bandung. Penetapan ini kemudian disahkan oleh DPRD Kabupaten Bandung melalui Surat Keputusan DPRD Kabupaten Bandung No 10/KPTS/DPRD/1973.


Kedudukan Ibukota
Wilayah Bandung pada abad ke-17 sering disebut Tatar Ukur. Salah seorang penguasan di Tatar Ukur yang terkenal adalah Wangsanata alias Dipati Ukur. Tetapi Wangsanata meski menjadi penguasa yang berpengaruh di Tatar Ukur Bandung, tidak dijadikan pijakan sebagai kepemimpinan mula di daerah ini. Alasannya, tidak ada bukti otentik yang tertulis.

Oleh sebab itu, maka Wira Angun-angun adalah peletak utama kepemimpinan Bupati di Bandung sesuai dengan surat pengangkatan dari Sultan Agung. Bersamaan dengan diangkatnya Bupati Sukapura di Tasikmalaya, Bupati Limbangan di Garut, Bupati Parakan Muncang di Cicalengka.

Menurut Sejarah Bandung (1855), sesuai dengan Pelantikan Ki Astamanggala dari Umbul Cihaurbeti menjadi Mantri Agung atau Bupati Bandung dengan gelar Wira Angun-angun, Sultan Mataram tidak menginginkan daerah Ukur Bandung dalam keadaan kosong, dan memerintahkan untuk membuat kampung baru yang berpenduduk.

Namun Raden Astamanggala menyatakan bahwa hanya sedikit orang-orang di bawah kekuasaanya yang ada di Cihaurbeuti sekitar 25-30 rumah (Juliaen de Silva, 1641). Kemudian Raja Mataram memerintahkan untuk mengambil 200 cacah (kepala keluarga) dari Timbanganten yang termasuk kekuasaan Ardikusumah. Raden Astamanggala kembali dari Mataram dan tiba di Timbanganten. Di situ ia mendapatkan 200 KK yang dipimpin R Ardisuta, putra R Ardikusumah.

Atas perintah Raja Mataram, rakyat tersebut dibawa ke Tatar Ukur Bandung untuk mengisi tanah dan daerah baru. Perpindahan penduduk yang berangkat dari Timbanganten menuju Karapyak yaitu melalui daerah Tarogong kemudian melintasi Gunung Guntur Garut, Pangkalan, Kecamatan Ibun, terus ke Kec Paseh, Majalaya dan tiba di daerah Krapyak (muara Sungai Cikapundung dengan Sungai Citarum, Dayeuhkolot sekarang).

Raden Astamanggala sebagai Bupati Bandung pertama membangun pusat pemerintahan di Karapyak atau Bojongasih, di tepi Sungai Cikapundung pada muaranya di Sungai Citarum, Karapyak kemudian menjadi Citeureup (Dayeuhkolot). Sebagai daerah pusat Kabupaten Bandung, Krapyak dan daerah sekitarnya disebut Bumi Tatar Ukur Gede.

Menurut Prof. Dr. A. Sobana H. MA, wilayah administratif Kabupaten Bandung di bawah pengaruh Mataram (hingga akhir abad ke-17), belum diketahui secara pasti, karena sumber akurat yang memuat data tentang hal itu tidak/belum ditemukan.

Data tahap awal Kabupaten Bandung meliputi beberapa daerah antara lain Tatar Ukur, termasuk daerah Timbanganten, Kahuripan, Sagaraherang, dan sebagian Tanahmedang.

Boleh jadi, daerah Priangan di luar Wilayah Kabupaten Sumedang, Parakanmuncang, Sukapura dan Galuh, yang semula merupakan wilayah Tatar Ukur (Ukur Sasanga) pada masa pemerintahan Dipati Ukur, merupakan wilayah administratif Kabupaten Bandung waktu itu. Bila dugaan ini benar, maka Kabupaten Bandung dengan ibukota Karapyak, wilayahnya mencakup daerah Timbanganten, Gandasoli, Adiarsa, Cabangbungin, Banjaran, Cipeujeuh, Majalaya, Cisondari, Rongga, Kopo, Ujungberung dan lain-lain, termasuk daerah Kuripan, Sagaraherang dan Tanahmedang.

Kabupaten Bandung sebagai salah satu kabupaten yang dibentuk Pemerintah Kerajaan Mataram, dan berada di bawah pengaruh penguasa kerajaan tersebut, maka sistem pemerintahan Kabupaten Bandung memiliki sistem pemerintahan Mataram.

Bupati memiliki berbagai jenis simbol kebesaran, pengawal khusus dan prajurit bersenjata. Simbol dan atribut itu menambah besar dan kuatnya kekuasaan serta pengaruh bupati atas rakyatnya. Besarnya kekuasaan dan pengaruh bupati, antara lain ditunjukkan oleh pemilikan hak-hak istimewa yang biasa dimiliki oleh raja. Hak-hak dimaksud adalah hak mewariskan jabatan, hak memungut pajak dalam bentuk uang dan barang, hak memperoleh tenaga kerja (ngawula), hak berburu dan menangkap ikan dan hak mengadili.

Dengan sangat terbatasnya pengawasan langsung dari penguasa Mataram, maka tidaklah heran apabila waktu itu Bupati Bandung khususnya dan Bupati Priangan umumnya berkuasa seperti raja. Ia berkuasa penuh atas rakyat dan daerahnya. Sistem pemerintahan dan gaya hidup bupati merupakan miniatur dari kehidupan keraton. Dalam menjalankan tugasnya, bupati dibantu oleh pejabat-pejabat bawahannya, seperti patih, jaksa, penghulu, demang atau kepala cutak (kepala distrik), camat (pembantu kepala distrik), patinggi (lurah atau kepala desa) dan lain-lain.

Kabupaten Bandung berada di bawah pengaruh Mataram sampai akhir tahun 1677. Kemudian Kabupaten Bandung jatuh ketangan Kompeni. Hal itu terjadi akibat perjanjian Mataram – Kompeni (perjanjian pertama) tanggal 19-20 Oktober 1677.

Di bawah kekuasaan Kompeni (1677-1799), Bupati Bandung dan Bupati lainnya di Priangan tetap berkedudukan sebagai penguasa tertinggi di kabupaten, tanpa ikatan birokrasi dengan Kompeni.

Hingga berakhirnya kekuasaan Kompeni – VOC akhir tahun 1779, Kabupaten Bandung beribukota di Krapyak. Selama itu Kabupaten Bandung diperintah secara turun temurun oleh enam orang bupati.

Tumenggung Wira Angun-angun (bupati pertama) angkatan Mataram yang memerintah sampai tahun 1681. Kelima bupati lainnya adalah bupati angkatan Kompeni yakni Tumenggung Ardikusumah yang memerintah tahun 1681-1704, Tumenggung Anggadireja I (1704-1747), Tumenggung Anggadireja II (1747-1763), R. Anggadireja III dengan gelar R.A. Wiranatakusumah I (1763-1794) dan R.A. Wiranatakusumah II yang memerintah dari tahun 1794 hingga tahun 1829. Pada masa pemerintahan Bupati R.A. Wiranatakusumah II, ibukota Kabupaten Bandung dipindahkan dari Karapyak ke Kota Bandung.

Salam Santun

Tidak ada komentar