Kisah Leluhur Trah Wiranatakusumah Dari Timbanganten Ke Dayeuh Kolot dan Ke Kota Bandung

Kerajaan Timbanganten
Leluhur trah keluarga bangsawan Bandung, berdasarkan silsilah yang dimuat dalam naskah Babad Bupati Bandung, berasal dari kerajaan Timbanganten di Garut. Ada dua sumber informasi lainnya mengenai kerajaan Timbanganten yang terdapat di Museum Nasional, yaitu naskah  Wawacan Babad Timbanganten dengan kode naskah  Plt. 37 dan cerita mengenai Ratu Pasehan yang terdapat dalam naskah Silsilah Para Bupati Bandung dengan nomor kode naskah Plt. 42.

Ratu Pasehan, dalam naskah Silsilah Para Bupati Bandung (Plt. 42), disebut sebagai Dalem Pasehan yang merupakan putra dari keturanan raja Timbanganten bernama Babar Buwana. Dalem Pasehan mempunya tujuh orang anak. Maraja Inten Dewata, satu-satunya anak perempuan, kawin dengan Prabu Siliwangi. Anak dari perkawinan ini adalah Ratu Burung Baok.

Kisah dalam naskah Wawacan Babad Timbanganten ini berbeda dengan naskah Silsilah Para bupati Bandung. Dituliskan, Timbanganten merupakan kerajaan yang berada di bawah kekuasaan Pajajaran.  Ratu Pasehan merupakan Raja Timbanganten yang memiliki seorang adik perempuan bernama Gusti Ayu Lara Ratu Maraja Inten Dewata.

Diceritakan Ratu Pasehan yang sudah berusia lanjut khawatir kerajaan Timbanganten tak memiliki penerus. Dia kemudian meminta salah satu putra Prabu Siliwangi untuk dijadikan sebagai pengganti dirinya sebagai raja di Timbanganten. Saat itu Prabu Siliwangi merupakan ipar Ratu Pasehan karena kawin dengan adik perempuannya, Gusti Ayu Lara Ratu Maraja Inten Dewata.

Setelah berunding dengan Patih Arga, Prabu Siliwangi kemudian mengirimkan salah satu putranya yang bernama Sunan Burung Baok yang lebih dikenal dengan panggilan Pangeran Brahma sebaga calon pengganti pamannya, Ratu Pasehan.

Pangeran Brahma, yang merupakan putra Prabu Siliwangi dengan seorang putri bangsa jin??, diketahui sering menimbulkan keonaran di Pajajaran. Meski telah dipersiapkan dan diberi nasihat oleh pamannya, Ratu Pasehan, tetap saja ia membuat kericuhan di Timbanganten. Ratu Pasehan kemudian menjatuhkan hukuman yang berat kepada Pangeran Brahma, sesuai dengan pesan Prabu Siliwangi untuk mendidik sang anak dengan keras.

Namun Pangeran Brahma, yang tak terima memperoleh ganjaran hukuman yang berat, menghasut Prabu Siliwangi dengan mengatakan bahwa Ratu Pasehan berlaku tidak adil. Prabu Siliwangi yang termakan hasutan Pangeran Brahma kemudian murka dan akan memberikan hukuman yang berat kepada Ratu Pasehan sebagai balasan.

Ratu Pasehan berhasil terhidar dari hukuman berat yang akan dijatuhkan oleh Prabu Siliwangi setelah memperoleh pembelaan dari Patih Agra dan ayah Ratu Pasehan. Tersadar bahwa dirinya termakan hasutan anaknya, Prabu Siliwangi kemudian meminta maaf kepada Ratu Pasehan. Sebagai ungkapan penyesalan, ia berjanji kepada Ratu Pasehan untuk memberikan bayi yang dikandung oleh Gusti Ayu Lara Ratu Maraja Inten Dewata sebagai calon penerus tahta Timbanganten.

Putra yang dilahirkan Gusti Ayu Lara Ratu Maraja Inten Dewata itu diberi nama Raden Sunan Panggung. Sesuai dengan janji Prabu Silwangi, Ratu Pasehan kemudian datang menjemput Raden Sunan Panggung  dan dibawa ke Timbanganten. Setelah memperoleh didikan sebagai calon raja, Raden Sunan Panggung  kemudian diangkat sebagai pengganti Ratu Pasehan. Ia kawin dengan puteri dari patih Timbanganten.

Sementara itu, Pangeran Brahma bertobat dan menjadi pribadi yang lebih baik.  Ia kemudian berganti nama menjadi Gagak Lumayung atau Prabu Santang Pertala. Salah satu jasanya adalah andil besar dalam menumpas Baraja Denda, Raja Galuh yang tak mau tunduk kepada kekuasaan Pajajaran.

Dari Gusti Ayu Lara Ratu Maraja Inten Dewata, Prabu Siliwangi memperoleh lagi dua anak, yaitu seorang anak perempuan bernama Rara Santang dan seorang anak laki-laki bernama Raden Walang Sungsang.

Kisah leluhur klan Wiranatakusumah yang berasal dari Timbanganten seperti yang dituturkan dalam dua naskah tadi memang sarat dengan mitologi. Begitu pula dengan pucuk dari silsilah keluarga bupati Bandung yang mengambil nama raja-raja kerajaan Sunda.

Merunut silsilah keluarga bangsawan Bandung berdasarkan naskah Babad Bupati Bandung, kita akan menemukan di urutan paling atas nama leluhur yang lebih dekat sebagai tokoh sastra dibandingkan tokoh sejarah. 

Secara berurutan dari pucuk silsilah hingga ke tokoh Ratu Pasehan, terdapat nama-nama seperti Ratu Galuh Madurareja, Prabu Ciung Wanara, Prabu Lutung Kasarung, Prabu Linggahiyang, Prabu Linggawesi, Prabu Linggawastu, dan Prabu Anggalarang.

Dalam porsi yang berbeda-beda, nama-nama di atas juga terdapat dalam beberapa cerita dan babad lainnya tentang silsilah Prabu Siliwangi. Menurut Moh. Amir Sutaarga dalam bukunya yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1966, silsilah Prabu Siliwangi yang urutannya hampir sama dengan yang tercantum dalam naskah Babad Bupati Bandung setidaknya bisa ditemukan di Babad Pajajaran, Babad Galuh, Sajarah Galuh, dan Carita Waruga Guru.

Menarik garis keturunan hingga ke tokoh mitos atau setengah mitos yang dikenal banyak orang sebagai tokoh karismatik, menurut Nina Lubis, merupakan suatu usaha dari keluarga bangsawan Sunda untuk meneguhkan posisinya sebagai kalangan yang terhomat dengan derajat kedudukan yang lebih dibandingkan dengan masyarakat kebanyakan. Fenomena menarik garis silsilah ke tokoh sastra atau sastra sejarah seperti Prabu Siliwangi tak hanya dilakukan oleh trah keluarga Wiranatakusumah atau bangsawan Bandung, tapi beberapa keluarga bangsawan Sunda lainnya.

Dalam silsilah yang tercantum pada Babad Bupati Bandung, dituliskan secara kronologis susunan nama tokoh yang menjadi leluhur trah Wiranatakusumah. Tercatat pula beberapa nama daerah yang terkait dengan tokoh dalam daftar silsilah tersebut. Keterangan lokasi dan derah tersebut dapat menjadi petunjuk mengenai asal-muasal leluhur para bangsawan Bandung.

Nama daerah yang menjadi informasi tambahan dalam naskah Babad Bupati Bandung adalah lokasi para tokoh dikebumikan. Kebiasaan mencatat tempat seorang tokoh dimakamkan dapat dipahami sebagai kelanjutan dari kebiasaan lama leluhur Sunda. Sebagai contohnya adalah Prasati Batutulis, Bogor yang memuat beberapa nama raja Sunda, disertai keterangan tempat mereka dimakamkan. Prasasti yang berangka tahun  saka panca pandawa emban bumi itu, yang oleh C.M. Pleyte diartikan sebagai 1533 Masehi, dibuat oleh Prabu Surawisesa untuk memperingati kejayaan ayahandanya, Sri Baduga Maharaja.

Dalam perasati Batutulis disebutkan beberapa nama leluhur Sri Baduga Maharaja yang disertai tempat mereka dikembumikan. Dituliskan bahwa Prabu Sri Baduga Maharaja adalah anak Rahayang Dewa Niskala yang dikuburkan (sida mokta) di Gunatiga dan cucu Rahyang Niskala Wastu Kancana yang dikuburkan di Nusalarang.  

Selain prasasti Batutulis, penulisan silsilah yang menyebutkan nama tokoh dengan disertai tempat mereka dikuburkan juga termuat dalam naskah Carita Parahyangan. Naskah yang diperkirakan ditulis pada akhir abad XVI dan kini menjadi koleksi Museum Nasional tersebut memuat nama Prabu Niskala Wastu Kancana yang dikuburkan (nu surup) di Nusalarang.

Kebiasaan mengkaitkan nama tokoh dengan tempat pemakamannya seperti inilah yang juga ditemukan dalam silsilah keluarga bupati di Priangan. Termasuk di dalamnya, trah Bupati Bandung dengan tokoh besar seperti Prabu Siliwangi yang, menurut Amir Sutaarga, lengkapnya bergelar Ratu Purana Prabu Guru Dewataprana Sri Baduga Maharaja Ratu Haji Di Pakwan Pajajaran sebagai puncak silsilah mereka.

Cara menuliskan pohon keluarga dalam naskah Babad Bupati Bandung pun ternyata mengadopsi kebiasaan tersebut. Nama tempat tokoh dikuburkan akan ditulis dengan keterangan “sawafatna dipendemna di”. Nama tokoh pertama dalam silsilah pada naskah Babad Bupati Bandung yang disertai keterangan nama tempat dikuburkannya adalah Sunan Permana di Puntang yang dituliskan “…jadi ratu di Timbanganten sawafatna dipendemna di Dayeuh Manggung”.

Menurut Kamus Umum Basa Sunda Lembaga Basa & Sastra Sunda (LBSS) (1995), wapat merupakan kata dari bahasa Arab yang artinya meninggal dunia (maot, pupus), sedangkan kata dipendem merupakan kata dari bahasa Jawa yang berarti dikuburkan atau dimakamkan.


Berasal Dari Timbanganten
Berdasarkan informasi tempat dimakamkannya tokoh-tokoh yang ada pada silsilah dalam nasakah Babad Bupati Bandung, kita dapat mengetahui perpindahan leluhur trah keluarga Wiranatakusumah mulai dari Timbanganten di daerah Garut kini, ke Dayeuhkolot di Kabupaten Bandung kini dan akhirnya ke Kota Bandung.

Kesimpulan bahwa asal leluhur trah Wirantakusumah berasal dari Timbanganten di Garut diperoleh dari informasi tentang tokoh Sunan Permana di Puntang yang dimakamkan di Dayeuh Manggung yang berada di lereng Gunung Cikuray. Juga Sunan Darma Kingking yang dikuburkan di Cihanja (?), masih di Timbanganten, Garut. 

Tokoh selanjutnya, putera dari Sunan Darma Kingking yaitu Sunan Ranggalawe dikebumikan di Pasir Cikamiri, daerah yang kini berada di sebelah barat RSUD Garut.  Penggantinya, Dalem Tumenggung Mataun, dimakamkan di Timbanganten, sedangkan Raja Dalem Wiranatakusumah dikuburkan di daerah Cangkuang, Leles, Garut.  

Juga diperoleh keterangan bahwa Dalem Wirakusumah dan Dalem Tumenggung Wiranangun dimakamkan di Timbanganten. Sementara itu, Dalem Ardi Kusumah  dikuburkan di Tenjolaya, Garut. Tokoh terakhir yang dikuburkan di daerah Garut adalah Dalem Demang Anggaraja, yang dimakamkan di Gordah, Cireungit, Tarogong, Garut. Dalem Demang Anggaraja adalah bupati Bandung dalam daftar silsilah naskah Babad Bupati Bandung yang memperoleh surat keputusan pengakatan (besluit) dari Gubernur Jenderal  tertanggal 19 November 1684.

Hanya satu tokoh dalam kurun waktu Timbanganten yang tidak dikembumikan di daerah Garut, yaitu Raja Dalem Wirakarama. Menurut informasi dalam nasakah Babad Bupati Bandung, ia meninggal dunia dalam perjalanan menghadap ke Mataram dan dikuburkan di sana. Ia kemudian digantikan oleh saudara kandungnya, yaitu Dalem Wirakusumah.


Pindah ke Dayeuhkolot, lalu Bandung
Sejak tokoh Raden Tumenggung Anggadireja, dapat diketahui telah terjadi perpindahan kerajaan dari wilayah Timbanganten ke daerah Tarikolot atau Dayeuh Kolot. Dituliskan dalam nasakah Babad Bupati Bandung, Raden Tumenggung Anggadireja, yang diangkat sebagai Bupati Bandung dengan besluit tertanggal 9 September 1763, dimakamkan di Kaum Bandung, Tarikolot.

Menurut Kamus Umum Basa Sunda Lembaga Basa & Sastra Sunda (LBSS) 1995), kata Tarikolot mengacu pada arti bekas kampung dan kata narikolot berarti kampung yang keadaan sebelumnya ramai menjadi sepi. Sedangkan menurut Kamoes Basa Soenda (1946) yang disusun oleh R. Satjadibrata, kata tarikolot berarti kampung yang sudah tidak ramai lagi. Hal ini akan berkaitan dengan perpindahan ibu kota Kabupaten Bandung dari daerah Citeureup, Dayeuhkolot ke  Dayeuh (Kota) Bandung berdasarkan besluit Gubernur Jenderal  Herman Willem Daendels tertanggal 25 September 1810 yang kemudian diperingati sebagai hari jadi Kota Bandung. 

Setelah perpindahan ibu kota kabupaten Bandung dari daerah Citeureup di pinggiran sungai Citarum ke Kota Bandung kini, daerah ibukota lama yang ditinggalkan kemudian biasanya akan disebut Tarikolot atau Dayeuhkolot (Kota Tua). Fenomena penyebutan ibu kota kabupaten yang ditinggalkan karena perpindahan sebagai Tarikolot juga terjadi pada kabupaten Cianjur, berdasarkan   informasi dalam silsilah Bupati Cianjur yang dimuat pada buletin Volksalmanak Soenda 1922. Dituliskan bahwa Ngabhei Wiratanu atau yang kemudian bergelar Aria Wiratanudatar (1691-1707) mempunyai julukan Dalem Tarikolot karena putranya yaitu Astramenggala atau bergelar Aria Wiratanu (1707-1726) memindahkan ibu kota kabupaten Cianjur ke lokasinya kini, sehingga tempat tinggal Aria Wiratanudatar disebut sebagai dayeuh kolot (kota tua).

Ibu kota Kabupaten Bandung berlokasi di daerah Tarikolot atau Dayeuhkolot hingga masa R. Adipati Wiranatakusumah II yang menduduki jabatan Bupati Bandung setelah menerima surat pengangkatan (Besluit) pada tanggal 20 Oktober 1794. Sebenarnya R. Adipati Wiranatakusumah II masih tinggal di Tarikolot atau Dayeuhkolot hingga tahun 1810 setelah keluarnya surat perintah Daendels. Ayahanda R. Adipati Wiranatakusumah II yaitu Dalem Adipati Wiranata Kusumah I yang diangkat menjadi bupati Bandung dengan besluit tertanggal 18 Januari 1788 setelah meninggal dunia dimakamkan di Kaum Bandung, Tarikolot.  Namun yang kemudian mendapat julukan Dalem Kaum adalah R. Adipati Wiranatakusumah II, mengacu pada tempatnya dimakamkannya, yaitu di Kaum, Dayeuh (kota) Bandung.

Jadi, ada perbedaan antara Kaum Bandung, Tarikolot dengan Kaum Dayeuh (kota) Bandung. Kata kaum dalam bahasa Suda jika mengacu pada Kamoes Basa Soenda (1946) yang disusun oleh R. Satjadibrata berarti daerah tempat tinggal penghulu beserta pegawainya (sarat-sarat Kaum) seperti, naib, kalipah, letib, imam, bilal, modin, dan merbot. Keberadaan kampung Kaum, atau dalam bahasan Jawa disebut Kauman, biasanya terletak di sekitar Masjid Agung. Sesuai konsep tata kota tradisional di Jawa, keberadaan Mesjid Agung adalah satu unsur dari konsep Catur Gatra. Jadi baik di Tarikolot (Dayeuhkolot) maupun di ibu kota kabupaten Bandung yang baru, keberadaan Masjid Agung beserta Kaum juga terdapat pada keduanya.

Dengan mengacu letak makam Raden Tumenggung Anggadireja dan Dalem Adipati Wiranata Kusumah I yang dikuburkan di Kaum Bandung, Tarikolot, bisa diduga letak pusat ibu kota kabupaten Bandung lama di Dayeuhkolot. Karena sesuai konsep Catur Gatra keberadaan alun-alun, masjid agung, dan pendopo berada dalam satu kompleks, sangat mungkin pusat ibu kota kabupaten Bandung di Tarikolot (Dayeuhkolot) berada di sekitar kompleks makam Bupati Bandung di Dayeuhkolot.

Dalem Adipati Wiranata Kusumah III menjabat Bupati Bandung berdasarkan besluit pada tanggal 10 Mei 1829, menggantikan ayahnya, R. Adipati Wiranatakusumah II. Setelah wafat, Dalem Adipati Wiranata Kusumah III dijuluki Dalem Karang Anyar, berdasarkan tempatnya dimakamkan. Namun setelah itu, julukan Bupati Bandung tidak lagi mengacu pada nama tempat lokasinya dikuburkan karena para Bupati Bandung biasanya dimakamkan di kompleks makam Bupati Bandung di Karang Anyar atau di kompleks makam Dalem Kaum. Sementara itu, nama daerah asal trah Wiranatakusumah, yakni Timbanganten, kini diabadikan menjadi nama Yayasan Komisi Sejarah Timbanganten-Bandung.

Dengan mencermati nama tempat dimakamkannya tokoh dalam daftar silsilah Bupati Bandung yang termuat pada naskah Babad Bupati Bandung, kita bisa menelusuri asal trah Wiranatakusumah. Untuk melangkapi informasi angka tahun para tokoh penguasa kabupaten Bandung, kita dapat merujuk pada silisilah Bupati Bandung yang termuat pada Volksalmanak Soenda 1922.

Dalam naskah Babad Bupati Bandung disebutkan bahwa Dalem Adipati Wiranatakusumah II, regen (bupati) Bandung diangkat berdasarkan besluit (surat keputusan) kompeni tanggal 20 Oktober 1794. Lima belas tahun kemudian, sang bupati pindah dari Dayeuh Kolot ke Dayeuh Bogor yang terletak di sekitar Keresidenan (Gedung Pakuan), Cicendo kini. Di Dayeuh Bogor ini, ia tinggal selama kurang lebih dua setengah tahun lamanya, sebelum pindah ke lokasi pusat kota Bandung kini.

Dalem Adipati Wiranatakusumah II wafat pada tahun 1829 dan dikebumikan di Kaum, Bandung, sehingga ia dikenal juga dengan julukan Dalem Kaum, selain julukan lainnya, Dalem Bogor, karena ia sempat tinggal di Dayeuh Bogor.

Bila mengacu pada informasi nasakah Babad Bupati Bandung tersebut, Dalem Adipati Wiranatakusumah II telah pindah dari Dayeuh Kolot, ibu kota lama kabupaten Bandung, setahun sebelum Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels memerintahkan perpindahan ibu kota kabupaten Bandung melalui besluit pada 25 September 1810, tanggal yang kemudian diperingati sebagai hari jadi Kota Bandung.


Silsilah Wiranatakusumah
Nama Wiranatakusumah menjadi identik sebagai gelar bagi bupati Bandung. Meski menurut Nina Herlina Lubis dalam bukunya Kehidupan Kaum Menak  Priangan 1800-1942 (1998), nama keluarga yang diwariskan secara turun-temurun bukanlah suatu kebiasaan  orang Sunda, yang biasanya terjadi adalah perpaduan nama dengan mengambil sebagian nama leluhur, baik dari sisi ayah maupun ibu, yang dipandang memiliki reputasi yang baik dan tingkatan gengsi yang tinggi. 

Berdasarkan naskah Babad Bupati Bandung, Dalem Adipati Wiranatakusumah II diangkat sebagai bupati Bandung menggantikan ayahnya, Raja Dalem Adipati Wiranatakusumah I, yang wafat pada tahun 1794 dan dimakamkam di Kaum Bandung, Tarik Kolot.  Raja Dalem Adipati Wiranatakusumah I diangkat menjadi regen (bupati) Bandung berdasarkan besluit tanggal 18 Januari 1788.

Menurut silsilah keluarga yang tercantum dalam naskah Babad Bupati Bandung, Raja Dalem Adipati Wiranatakusumah I bukanlah yang pertama menggunakan nama Wiranatakusumah. Oleh enam generasi di atas Raja Dalem Adipati Wiranatakusumah I, nama Wiranatakusumah telah digunakan. Raja Dalem Wiranatakusumah, yang setelah wafat dimakamkan di daerah Cangkuang, Leles, Garut, merupakan tokoh pertama yang menggunakan nama tersebut dalam silsilah keluarga.

Raja Dalem Wiranatakusumah merupakan generasi kelima penguasa Timbanganten yang wilayahnya kini terletak di wilayah kabupaten Garut. Naskah Babad Bupati Bandung mencatat raja pertama Timbanganten adalah Sunan Permana di Puntang yang dimakamkan di daerah Dayeuh Manggung, Garut.  

Sunan Permana di Puntang merupakan anak dari hasil perkawinan antara Prabu Siliwangi dengan  Ratu Maraja Inten Dewata yang merupakan puteri dari Dalem Pasehan Panembong. Prabu Siliwangi, menurut pendapat Moh. Amir Sutaarga, merupakan Sri Baduga Maharaja yang memerintah di Pakuan Pajajaran dalam kurun 1474-1513. Sementara itu, Ratu Maraja Inten Dewata  di naskah Babad Bupati Bandung disebutkan sebagai anak dari Dalem Pasehan Panembong. Panembong merupakan nama sebuah desa yang terletak di Kabupaten Garut.

Cag, urang teundeun di handeuleum sieum, urang tunda di hanjuan siang. Paranti nyokot ninggalkeun. 

Tidak ada komentar